🦄
4 min readApr 21, 2024
Photo by Alan Wiesner on Unsplash

Dua bulan setelah sidang akhir, ia mendapatkan pekerjaan sebagai Management Trainee di salah satu Bank swasta di Indonesia. Berbagai tawaran yang datang disaat bersamaan, membuatnya harus menimbang-nimbang tawaran mana yang harus ia ambil. Memang harus aku akui, dia memang sangat pintar dan keberuntungan pun selalu mengelilinginya. Setelah mendengar kabar itu, aku bahagia dan I’m proud of him.

Beberapa bulan terakhir kami berdua memiliki waktu yang relatif bebas tanpa terikat apapun, karena kami masih sama-sama belum bekerja. Tiba-tiba dia mengatakan sesuatu.

“Baby, akan ada masanya aku terlalu lelah dengan pekerjaan dan seakan-akan aku kurang perhatian sama kamu. Kesadaran akan tanggung jawabku adalah bentuk rasa cintaku sama kamu."

Tanpa mengatakan itu pun, aku sudah mengerti kondisinya dan aku tidak ada masalah dengan itu. Toh memang keterbatasan komunikasi saat bekerja itu adalah hal yang wajar. Tetapi ketika ia membicarakan itu, aku merasa bahwa dia serius dengan hubungan ini. Rasa cinta yang disertai dengan usaha akan menghasilkan keberhasilan dalam suatu hubungan dan aku merasa diperjuangkan.

Tanpa terasa, sudah saatnya aku meninggalkan ruangan berwarna pink muda berukuran 3 x 4 m itu, setelah empat tahun menjadi tempatku beristirahat selama kuliah. Walaupun selama menempati kamar itu, tidak henti-hentinya aku berkomentar bahwa warna cat temboknya sangat norak, namun sampai habis masa kontrak pun aku tidak pernah mengganti warna catnya.

Setelah bernegosiasi dengan mudah, ia dengan senang semangat ingin membantuku membereskan barang-barang dikosanku sebelum orang tuaku menjemputku dan membawa semua barang-barang yang ada di ruangan itu.

Pagi itu ruangan yang tadinya sepi, hampa dan tak berpenghuni, akhirnya hidup kembali dengan suara musik yang diputar dari ponsel hitam yang tersimpan ada diatas meja. Tidak kalah ramainya dengan ocehan-ocehannya yang sedang membereskan-lebih tepatnya melihat-lihat barangku dikosan.

"Waaaah! Aku menemukan buku ospek kamu, by!"

Pekikannya membuatku mengingat hal-hal yang sempat kita bicarakan bulan lalu saat sedang membereskan kamar kostnya. Aku menjadi semangat untuk menjelaskannya.

"Coba baca, cepet! Tan Malaka, kan?"

Dia melihat gambaranku di cover bukunya sebentar lalu mulai membuka lembaran demi lembaran buku tulis yang beirisi tulisanku saat melakukan kegiatan pengenalan kampus.

"Kamu ngikutin aku!"

Si keras kepala dan ngga mau kalah. Walaupun sudah sangat jelas, didalam tulisannya tertera tanggal penulisan biografi tersebut dan kampusku lebih dulu mengadakan acara pengenalan kampus dibandingkan kampusnya.

Aku tersenyum melihat dia cemberut. Walaupun responnya seperti itu, tapi aku tahu jelas bahwa ia tidak benar-benar mengambek mengenai hal itu. Dia hanya menggodaku saja, karena kita sama-sama tahu bahwa itu memang kebetulan yang terjadi beberapa tahun lalu di waktu yang sama.

Kembali ia menyortir tumpukan buku tulisku yang ada didalam box berwarna putih. Sementara aku membereskan buku-buku bacaan yang tersimpan di rak buku dekat ranjangku. Dalam kesunyian itu, ia mulai membuka obrolan lagi.

"Babe, I’m feeling something more and more. Something that I’ve said before."

Aku menghentikan kegiatanku, kemudian berbalik kearahnya dengan kening mengkerut. Bertanya-tanya apa maksud dari ucapannya.
Tak lama kemudian dia membalikan badanya kearahku lalu menatapku dalam. "I love my self when I’m with you, and..you’re the very best of me."

Salah tingkah. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum diwajahku. Aku mencoba berusaha untuk menyembunyikan itu dengan kembali membereskan tumpukan buku yang akan kumasukan kedalam box putih yang akan aku bawa pulang ke rumah.

Aku berusaha mengontrol nafasku dan berdeham sebelum berbicara.

"Nicholas Sparks? The Best of Me? Jadi pengen nonton lagi."

"Yep. Mau nonton dulu, sebelum lanjut beres-beres?"

Anggukanku menghentikan kegiatan beres-beres kami berdua. Dia berdiri dan mengajakku untuk duduk diranjang, satu-satunya tempat yang masih steril dari barang-barang yang kami bereskan. Kami duduk dan mulai menghidupkan laptop.
Film itu mulai diputar. Adegan demi adegan kami saksikan berdua, tak jarang kami saling menatap dan tersenyum seraya menggenggan erat tangan satu sama lain yang saling bertautan.

Dear Amanda,
When I was young, I looked for a shape to things, a reason or a design. So much of what happened to me though, felt like an accident so I guess I lost faith in all of that. When I survived my fall, I began to wonder, if there was some purpose to my life.
Maybe I was on a destined path, even if I couldn’t see it yet. When I saw you again, I believed we’d been given a second chance, that the universe had decided to give us that. You have commitments, I understand. And you want to keep them, I can only love you more for that. I hope to see you again some day, but if I don’t, just know that these past days have been the best of my life.
I love who I am when I’m with you, Amanda. You are my dearest friend, my deepest love. You are the very best of me.
Forever, Dawson

 
Love letter yang ditulis Dawson menjadi penutup film itu. Ending yang membuat kami semakin meyakini bahwa Unconditional Love itu memang nyata dan kami bisa menjadi salah satu pasangan yang merasakan cinta sedalam itu. Walaupun mungkin orang berfikir bahwa ini terlalu dini untuk kami ucapkan.

Film ini juga menjadi film pertama yang kami bahas di awal masa pendekatan kami, jadi obrolan tentang Unconditional Love menjadi sebuah bahasan yang menarik untuk aku dengannya.

"By, I want to love you like Dawson’s did. Unconditionally."

Hening. Ucapan spontannya membuat jantungku berdebar. Setelah berfikir sejenak, beberapa detik kemudian aku menjawab ucapannya. "You’re my Dawson."

"And you’re my Amanda."

Kamu pasti bisa melakukannya, aku yakin. Tapi mari kita buat kisah versi kita sendiri, terus mencintai dan hidup bersama hingga kita menua serta hidup dalam kebahagian. Aku terlalu mencintai kamu, bahkan untuk membayangkan hidup tanpa kamu pun aku enggan. Aku hanya ingin menikmati setiap detik yang kita habiskan bersamamu.

Satu hal yang tidak kamu sadari bahwa aku menyimpanmu dalam sebuah karya dan itu abadi.